Sultanah Safiatuddin: Ratu Aceh yang Cerdas Penguasa 4 Bahasa
3 min read
Sultanah Safiatuddin, penguasa bijaksana dan penguasa 4 bahasa, memimpin Aceh dengan cerdas dan tegas. Pelajari kisah inspiratifnya.
Perempuan Penguasa dengan Warisan Sejarah yang Luar Biasa
Sultanah Safiatuddin, anak tertua Sultan Iskandar Muda, adalah salah satu penguasa perempuan legendaris dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam. Dengan kecerdasan dan kebijaksanaannya, ia berhasil memimpin Aceh dengan gagah berani. Tidak hanya cerdas dalam mengelola pemerintahan, sang ratu juga dikenal sebagai penguasa yang menguasai empat bahasa鈥擜ceh, Melayu, Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu. Ini merupakan pencapaian yang luar biasa, apalagi di masa itu.

Menjadi Ratu di Tengah Tantangan
Setelah suaminya, Sultan Iskandar Tsani, wafat, sang ratu menghadapi banyak tantangan. Salah satunya adalah penolakan dari beberapa ulama yang tidak setuju perempuan memimpin Aceh. Banyak dari mereka berpendapat bahwa perempuan tidak cocok untuk memegang tampuk kekuasaan.
Namun, setelah Sultan Iskandar Tsani meninggal, situasi Aceh semakin sulit mencari pengganti yang cocok. Ulama besar, Nurudin ar-Raniri, kemudian turun tangan untuk menengahi pertentangan ini. Dengan dukungannya, Sultanah Safiatuddin akhirnya naik tahta dan memimpin Aceh Darussalam. Keputusan ini, meski penuh perdebatan, akhirnya membawa Aceh ke dalam masa kejayaan yang luar biasa.
Pemerintahan yang Bijaksana dan Inovatif
Selama 35 tahun memerintah, Sultanah Safiatuddin melakukan banyak reformasi yang memajukan Aceh. Salah satu pencapaiannya yang paling terkenal adalah pembentukan pasukan perempuan pengawal istana. Mereka tidak hanya bertugas menjaga keamanan, tetapi juga ikut serta dalam Perang Malaka pada tahun 1639, menunjukkan bahwa perempuan di bawah kepemimpinan sang ratu memiliki peran penting dalam mempertahankan Aceh.
Di samping itu, Sultanah Safiatuddin juga melanjutkan tradisi pemberian hadiah berupa tanah kepada para pahlawan perang. Ini adalah cara untuk mengapresiasi perjuangan mereka dan memperkuat kedudukan Aceh di dunia internasional.
Anda mungkin tertarik dengan: “Ariana Grande Cherry Eclipse: Aroma Buah Ceri yang Mencuri Hati“
Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Sultanah Safiatuddin sangat peduli dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Di bawah kepemimpinannya, banyak karya sastra dan ilmu pengetahuan yang lahir. Aceh menjadi pusat kebudayaan yang melahirkan banyak cendekiawan. Sultanah Safiatuddin sendiri dikenal sebagai sosok yang tidak hanya menguasai bahasa lokal, tetapi juga bahasa internasional seperti Arab dan Persia. Ini membantu Aceh menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai negara.
Melawan Pengaruh Belanda dan Memperjuangkan Kemerdekaan
Pada masa pemerintahannya, Sultanah Safiatuddin juga berperan penting dalam mempertahankan Aceh dari ancaman Belanda. VOC berusaha menguasai perdagangan timah dan sumber daya alam lainnya di Aceh, namun gagal. Keberhasilan ini menunjukkan keteguhan Sultanah Safiatuddin dalam melindungi kedaulatan negaranya dari penjajahan.
Selain itu, ia memperkenalkan berbagai kebijakan yang mendukung kesetaraan gender. Salah satunya adalah Cap Sikureung, yang menjadi simbol otoritas Kesultanan Aceh Darussalam. Dengan kebijakan ini, Sultanah Safiatuddin berupaya meningkatkan posisi perempuan di masyarakat, memberikan perlindungan yang lebih baik dan mendorong kesetaraan dalam berbagai sektor kehidupan.
Akhir Kepemimpinan yang Meninggalkan Warisan
Sultanah Safiatuddin wafat pada 23 Oktober 1675 setelah memimpin Aceh selama 35 tahun. Meskipun sebagai perempuan, ia berhasil membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang tidak kalah dengan penguasa laki-laki. Sebagai pengganti, ia mendapat gelar Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam, dan warisan kebijakannya diteruskan oleh penerusnya.
Kesimpulan: Jejak Sejarah yang Tak Terlupakan
Sultanah Safiatuddin adalah bukti nyata bahwa perempuan dapat memimpin dengan cerdas, bijaksana, dan penuh keberanian. Keberhasilannya dalam memerintah Aceh, melawan penjajah, dan mengembangkan ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa gender bukanlah penghalang untuk menjadi pemimpin besar. Warisan yang ia tinggalkan akan selalu dikenang dalam sejarah Aceh dan Indonesia.
Baca juga: “Trump Kirim 1.500 Tentara Tambahan ke Perbatasan Meksiko, Tanggapi Krisis Imigrasi“